Unknown

Penggagas Serangan OEMOEM 1 Maret

Setelah penangkapan Belanda terhadap pemimpin-pemimpin Republik Indonesia, PBB mengalami kegemparan. Nehru, Perdana Menteri India menuding Belanda sudah melakukan perbuatan biadab tak tahu malu. Kemarahan Nehru ini didukung oleh anggota-anggota PBB lainnya. Yang paling galak adalah Australia, Australia meminta Belanda mematuhi etika hukum Internasional karena sudah berulang kali Belanda berunding denganpihak Indonesia baik melalui pihak ketiga atau Komisi Tiga Negara danKomite Jasa Baik dengan begitu Belanda mengakui eksistensi negara RI,sementara penyerbuan kemarin itu dinyatakan Belanda sebagai aksi Polisionil
dengan menyamakan agresi militer dengan aksi polisionil
berarti Belanda secara tidak langsung sudah menyatakan RepublikIndonesia sudah tidak ada lagi.Amerika Serikat sendiri lewat delegasinya mendesak Belanda mengadakanperundingan dengan pihak Indonesia seraya mengancam bila kelakukanBelanda tidak berubah maka dompet bantuan Amerika terhadap Belanda tidak akan terbuka lagi. “Belanda harus mematuhi peraturan-peraturanInternasional dan mengikuti cara-cara penyelesaian konflik yang terhormat”
Belanda yang merasa terpojok dengan desakan negara-negara anggota PBB berteriak lantang “Republik Indonesia tidak ada lagi, buktinya samasekali tidak ada perlawanan dari pihak kaum RI ketika pemimpin-pemimpinnya kami tangkap”
Sri Sultan mendengarkan perdebatan-perdebat an PBB ini baik-baik dari
siaran BBC, ia mengambil kesimpulan bahwa harus diadakan serangan militer besar-besaran yang dapat membuktikan anggapan Belanda itu salah. Ia duduk terdiam dan berpikir apa bisa militer melakukanserangan terkonsolidasi. 
Sri Sultan HB IX meminta pendapat kakaknya Pangeran Prabuningrat apakah bisa militer dikonsolidasikan untuk melakukan serangan yang sedang ia pikirkan. Pangeran Prabuningrat mengusulkan agar Sultan memanggil salah seorang perwira TNI yangmasih ada di sekitar Yogya. “Siapa, Latief Hendraningrat sedang di luar kota”
“Itu Komandan Wehrkreiss III, yang orangnya pendiam masih di sekitar
Yogyakarta?”
“Yang mana?” tanya balik Prabuningrat.
“Itu lho yang berhasil rebut tangsi senjata Jepang di Kotabaru”
“Oh, Overste Suharto”
“Ya, Suharto…suruh orang Keraton hubungi dia untuk datang kesini,
menyamar jadi Abdi Dalem Keraton saja”
“Baiklah” kata Prabuningrat.
Suharto datang diam-diam ke Keraton Yogya dengan menyamar menjadiAbdi Dalem (kisah Suharto menyamar menjadi Abdi Dalem ini sempat difilm-kan oleh Usmar Ismail di tahun 1950 dan masih versi Orisinil jauh dari kesan menjilat). Suharto dibawa Marsoedi sebagai perwira penghubung antara Suharto dengan Sri Sultan ke ruang khusus SriSultan untuk membicarakan kemungkinan serangan besar-besaran di Yogyakarta. Kejadian itu berlangsung tanggal 14 Februari 1949.
“Mas Harto duduklah” Jawab Sultan dengan bahasa Jawa halus.
“Baik Kanjeng Sinuwun” Jawab Letkol Suharto dengan menggunakan bahasa Jawa Tinggi yang biasa dibahasakan seorang hamba pada Paduka Rajanya.
“Mas Harto akhir-akhir ini keamanan kota Yogya tidak stabil bagaimana
kamu bisa membereskannya supaya tidak ada lagi penjarahan-penjarah an
di toko-toko dan perampokan-perampok an yang kabarnya juga menggunakan
senjata, Belanda sendiri kewalahan terhadap aksi liar para perampok
itu”
“Bisa Kanjeng Sinuwun, saya usahaken agar perampokan itu tidak ada
lagi..”
Sri Sultan melihat ke arah radio dan kemudian matanya menerawang dalam-dalam. Ia tahu sedang diamat-amati intel Belanda namun
penilaian Belanda sama sekali salah, ia diperkirakan akan memperjuangkan Yogya sebagai daerah otonom dibawah Belanda atau diam-diam ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Padahal apa yang dilakukan Sultan adalah bentuk pengabdian Raja Jawa terhadap kehendak sejarah. Dan Belanda kurang paham terhadap bentuk pengabdian ini. Sri Sultan betul-betul ingin mengabdi pada Republik Indonesia bukan mengejar ambisinya.
Tangan kanan Sri Sultan memegang dagu-nya yang agak lancip itu lalu dia berkata pelan pada Letkol Suharto.“Mas Harto apa bisa dilakukan serangan besar-besaran ke Yogyakarta?”
“Maksud Sinuwun?” Suharto balik bertanya.
“Serangan pendadakan agar Belanda tahu Republik masih ada”
“Hmmm…saya usahaken”
“Berapa pasukan yang kamu punya?”
“Kalau dihitung-hitung yang bisa saya kerahkan dari SubWehrkreis saya
sekitar dua ribu orang”
“Hmmm…dua ribu cukup”
“Memang Sinuwun mau merencanakan apa?”
“Saya menginginkan agar TNI bisa masuk ke dalam kota dan merebut
semua tempat yang dikuasai Belanda terutama gudang senjata yang ada
di Pabrik Waston itu, juga beberapa titik penting seperti Stasiun
Kereta Api, Jalan Malioboro dan Benteng Vredenburg”
Suharto terdiam sejenak dia berpikir dalam-dalam. Suharto adalah ahli strategi dia tidak akan mengambil keputusan bila keputusan itu tidak akan ia menangkan. Ia bukan tipe pengambil spekulasi yang untung-untungan ia harus paham situasi. Namun yang dihadapinya adalah SriSultan, Rajanya. Ia juga berpikir bahwa inti kekuatan pasukan Belanda
adalah KNIL pribumi kebanyakan dari Ambon, yang juga agak tak yakin dengan Belanda, bagaimanapun orang-orang pribumi itu dalam hatinya memihak Republik. Yang ditakutkan Suharto justru pasukan Marinir Belanda yang sudah dididik di Virginia Amerika.
“Berapa jam yang dibutuhkan pasukan bantuan Belanda dari luar Yogya
terutama yang di Semarang itu bisa tiba ke Yogya?”
“empat jam mungkin mereka akan sampai ke Yogya dan langsung membantu
pertempuran”
“Kamu bisa kuasai Yogya selama enam Jam, Mas Harto?”
“Bisa Sinuwun”
“Kamu sanggup?”
“Sanggup sinuwun”
“Sekarang laksanakan”  
Sri Sultan adalah Menteri Pertahanan pada kabinet Hatta dia mengerti problem-problem kekuatan angkatan perangkita. Dan dengan strategi perebutan kota Yogyakarta diharapkan LN Palar wakil Indonesia di luar negeri punya dukungan fakta bahwa INDONESIA MASIH ADA. (bersambung)

0 Responses

Posting Komentar